.....
Pesta
ulang tahunku dirancang oleh Mama dengan sangat meriah. Mama sengaja memakai
villa yang kami punya untuk acara ini, taman di villa itu yang menjadi pusat
acara malam ini. Dan live accoustic
band di tengah taman, dengan panggung sederhana tapi terkesan mewah.
Aku mengenakan gaun pilihan mama,
berwarna peach dengan model gaun-gaun
di dalam film-film disney. Seharusnya ini terasa luar biasa, tapi entah kenapa
aku justru tak merasa spesial hari ini.
Aku berjalan menuju panggung,
setelah tepat pukul 7. Dan acara seperti kebanyakan pesta ulang tahun dimulai,
dari menyanyikan lagu happy birthday,
make a wish, tiup lilin, potong kue,
dan lain-lainnya. Setelah itu semua selesai aku berjalan pergi meninggalkan
pangung, aku berkeliling taman ditemani Aisya. Beberapa langkah aku berjalan
aku selalu mendapat salam dari tamu yang mama undang, teman bisnis Papa, atau
teman-temanku sendiri.
“Mika, happy birthday ya,” ucap Tian padaku sambil menyerahkan kotak
hadiah padaku.
“Makasih Tian, seneng banget kamu
mau dateng” jawabku, aku menjabat tangan serta mengambil hadiah darinya.
“Iyalah, ulang tahun kamu masa aku
nggak dateng” balas Tian dia tersenyum ramah seperti biasanya.
“Tapi kamu kan habis tanding basket,
aku kira kamu nggak dateng soalnya kecapekan” jawabku sambil manyun-manyun. Dia
dan Aisya tertawa bersamaan.
“Idih malah pada ketawa,” tambahku.
“Ka, aku pergi dulu ya, mau ambil
minum. Haus” pamit Aisya dan langsung berjalan pergi.
Aku berjalan berdua sama Tian, aku
cerita banyak hal sama dia. Tentang Farkhan.
“Jadi kamu suka dia, Ka?” tanya
Tian. Aku mengangguk.
“Selama ini kamu nggak peka ya,
ternyata” kata Tian. Nada bicaranya melemah, seakan putus dari harapan yang ia
perjuangkan.
“Maksud kamu? Aku nggak peka
gimana?” tanyaku, aku benar-benar nggak ngerti maksud perkataan Tian.
“Lupain aja, Ka. Kamu juga nggak
akan peduli” jawab Tian, dia sedang berusaha tersenyum.
“Kamu kenapa sih? Aku benar-benar
nggak tahu!”
“Apa aku harus selalu mengekspresikan
lewat kata-kata saat bicara padamu? Aku suka kamu, Ka! Dari dulu, dari sebelum
kamu kenal Farkhan!”
Aku hanya bisa natap Tian, hening.
“Maaf...” kataku. Tian masih tetap
diam.
“Aku emang nggak peka, maaf selama
ini aku nggak sadar,” lanjutku.
“Bukan salahmu juga kok,” jawab
Tian. Dia tersenyum menatapku.
Hening kembali hadir.
“Aku nggak tau harus ngomong gimana,”
kataku.
“Aku tau kok, kamu nggak akan anggep
aku lebih dari temen,” balas Tian.
“Kita tetep kayak biasa aja, aku
juga nggak mau pacaran sama kamu kok. Dari awal aku nggak ada niat buat jadian
sama kamu. Sekedar suka, boleh kan?” lanjut Tian.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku merasa lebih spesial saat kamu
anggap aku sebagai teman dari pada kamu anggep aku sebagai pacarmu. Pacaran itu
bisa putus kapan aja, tapi nggak kalo temen,” jelas Tian.
“Aku kagum sama kamu. Kamu bisa
bilang gitu gampang banget, kayak nggak make beban,” balasku.
“Kamu beneran suka Farkhan? Kejar
dia. Aku tadi liat dia duduk sendiri di dekat gerbang depan,” kata Tian. Dia
menyuruhku agar berjalan pergi.