“Farkhaaaaaannn!!!
Belalang sial!!” pekikku pada cowok yang selalu mengerjaiku tiap harinya itu.
Tahu apa yang baru saja dia lakukan? Dia menaruh belalang besar yang berwarna
hijau di dalam laci mejaku. Padahal dia tahu aku sangat benci serangga!
Keadaan
ini sudah berlangsung lebih dari empat bulan ini. Aku dan Farkhan tidak akan
pernah bisa akur, begitu kata teman-teman. Dan aku amat sangat setuju. Akur
dengan Farkhan yang selalu mengerjaiku dengan berbagai macam cara? Nggak,
makasih.
“Sya,
bete banget sama Farkhan,” keluhku pada sahabatku, Aisya. Aisya menanggapi
dengan senyumnya yang selalu terlihat manis dan berkharisma.
“Kok
aku ngerasa kamu sama Farkhan cocok ya?” jawab Aisya lalu tertawa. Aku kaget
mendengarnya.
“Ah
bercanda! Aku? Sama Farkhan? Nggak mungkin, Sya” balasku sambil bergidik ngeri
membayangkan aku dan Farkhan, cowok aneh itu pacaran? Hiii...
“Cocok jadi temen maksudku, emang
kamu bayangin apa, Ka?” lanjut Aisya yang sekarang tersenyum jahil. Aku kembali
tersadar setelah ucapan Aisya selesai, iya juga, kenapa aku bayangin aku jadian
sama Farkhan? Iyuuuuhhh!
“Udah ah! Nggak penting deh bahas
Farkhan.” jawabku lalu berjalan duluan meninggalkan Aisya yang masih terkekeh
geli seakan tahu apa yang kubayangkan.
Hari Minggu adalah hari yang paling
membosankan.
Entah mengapa saat hari Minggu hadir
justru rasa bosan juga ikut hadir. Aku masih berguling-guling di atas kasurku,
pukul 7 pagi ini. Saat dering telepon memaksaku untuk beranjak dari kasur dan
berjalan menuju meja, mengambil Hpku yang berada di sana.
Di layar Hp terpampang jelas
“Belalang calling...”
Ha? Farkhan nelfon aku? Tumben,
biasanya SMS aja nggak pernah. Ada angin apa nih?
“Ya, halo?” kataku setelah menekan
tombol hijau di layar Hp.
“Asslamu’alaikum, Panda?” jawab
suara di seberang yang tak lain adalah Farkhan.
“Wa’alaikumsalam, iya. Apa Lang?
Tumben nelfon” balasku. Aku memangil dia Belalang, karena aku membenci belalang
sama seperti aku membencinya. Sedangkan Farkhan memanggilku Panda karena pipiku
yang chubi.
“Mmm... aku ke rumah kamu ya, Nda?”
“Hah? Ada apa sih? Kamu lagi demam
ya Lang?”
“Enggak. Bosen tauk di rumah, nggak
ada yang bisa dikerjain.”
“Ogah ah! Ntar kamu ke sini
bawa-bawa serangga lagi. Awas aja ya!”
“Enggak kok, Nda. Aku cuma mau
cerita sama kamu.”
Eh? Cerita? Mau cerita apa sih dia?
Terdorong rasa penasaran, aku menyanggupi permintaan cowok tengil satu itu.
Pukul 9 nanti Farkhan akan datang ke
rumah. Aku segera mandi, melihat sudah pukul 8 pagi. Selesai mandi aku sempat
mengetik SMS untuk Aisya, memberinya kabar tentang Farkhan.
Aku menuruni tangga dan berjalan
menuju dapur. Aku mengambil segelas susu dari meja makan dan berjalan duduk di
ruang keluarga yang tak jauh dari dapur. Kulihat Mama sedang sibuk fitnes
dengan alat fitnes baru yang beliau beli lewat situs online.
“Ma,” sapaku. Mama pun melihatku dan
hanya menyunggingkan senyum.
“Ntar temen Mika mau dateng”
lanjutku.
“Siapa? Aisya?” balas mama. Aku
menggeleng.
“Jam berapa? Mama mau pergi nanti
jam 10 ada pengajian.”
“Katanya sekarang Ma. Oalah. Papa
mana Ma?”
“Masih tidur di kamar, tadi subuh
baru aja sampek Jogja”
Kunyalakan TV yang berada di depanku.
Baru beberapa menit kunyalakan, bel dari pintu depan berbunyi. Aku berjalan menuju
pintu depan, membukakakan pintu.
Farkhan berdiri di depan pintu
rumah. Dia mengenakan setelan kemeja warna merah berlengan panjang serta skinny jeans hitam.
“Assalamu’alaikum, Nda” sapa Farkhan
lalu tersenyum. Aku menyuruhnya masuk ke dalam.
“Lalu?” tanyaku pada Farkhan yang
sedari tadi sibuk bermain dengan Hp-nya. Dia melirik ke arahku lalu memasukkan
kembali Hp-nya ke dalam saku celananya.
“Kita ngobrol di luar aja yuk? Aku
mau curhat nih,” ajak Farkhan.
“Di luar mana? Di sini juga nggak
papa kok,” jawabku.
“Nggak enak, Nda. Keluar yuk? Aku
traktir deh,” ajak Farkhan lagi.
“Oke, tapi jangan angkringan atau
burjoan lho.”
“Hahaha, ya enggaklah.”
“Yaudah aku pamit sama Mama dulu ya.”
Aku berjalan masuk menuju kamar Mama
lalu kubuka pintu kamar Mama.
“Ma?” panggilku. Ternyata Mama
sedang mandi.
“Ya?” jawab Mama bersahutan dengan
bisingnya suara keran air.
“Aku pergi ya, Ma? Sama Farkhan”
lanjutku.
“Oke,” balas Mama.
Farkhan mengajakku ke sebuah cafe di
pinggiran kota Jogja.
“Kamu kenal Annisa nggak, Nda?”
tanya Farkhan setelah kami selesai memesan menu.
“Annisa siapa? Di dunia ini yang
namanya Annisa tu banyak,” jawabku.
“Annisa kelas sebelah, IPA 4,” jelas
Farkhan.
“Ooh, yang islami banget itu kan?”
tanyaku meyakinkan. Farkhan mengangguk.
“Yap aku kenal. Kenapa?” lanjutku.
Baru saja Farkhan membuka mulutnya
untuk melanjutkan pembicaraan, pelayan di cafe itu telah datang mengantarkan
pesanan.
“Silahkan,” kata pelayan itu sambil
menurunkan dua gelas minuman yang tadi ia bawa dengan nampan kayu.
“Lanjut deh, Lang,” kataku. Farkhan
meneguk minumannya,
“Gimana ya.. Annisa suka sama aku,
Nda,” kata Farkhan. Aku terkejut. Benar-benar terkejut. Dan entah kenapa
jantungku jadi berdetak lebih cepat.
“Ciyeee... jadi sekarang kamu
pacaran?” tanyaku, berusaha tetap terseyum. Entah kenapa ada rasa ‘sakit’ yang
aku nggak ngerti apa artinya ini.
“Hehe,” jawab Farkhan sambil
menggaruk-garuk rambutnya, dia malu.
“Eh lihat deh Nda, hujan pertama
bulan di Oktober,” lanjut Farkhan sambil menatap jalan yang telah basah oleh
air hujan yang turun dengan derasnya. Iya, ini memang hujan pertama di bulan
Oktober. Dan aku menikmatinya bersama Farkhan, entah kenapa rasanya berbeda.
“Panda?” tanya Farkhan. Dia
melihatku. Entah mengapa aku menangis.
Hujan bulan Oktober tak pernah
sesakit ini. Sebelumnya aku adalah penggemar berat hujan, hingga aku merasakan
rasa sakit ini. Aku cemburu, aku patah semangat. Aku tahu sekarang, alasan
mengapa hari Minggu terasa membosankan, karena hari itu aku tak dapat bertemu Farkhan.
Aku tahu alasan kenapa aku tak pernah bisa marah pada Farkhan, alasan kenapa
kemarin aku menangis di cafe. Semua itu karena aku suka Farkhan! Belalang yang
sekarang mulai masuk ke dalam hatiku.
Kabar Farkhan jadian dengan Annisa
cepat menyebar hingga seluruh sekolah. Annisa memang cewek yang cantik dan
muslimah. Aku kira dia bukan tipe yang akan berpacaran, tapi ternyata dia sama
seperti cewek pada umumnya. Dan Annisa berbeda denganku. Dia selalu menutup
aurat dan menaati tata tertib sekolah, pintar, berkharisma. Dia seperti Aisya.
Punya kharisma yang aku nggak punya.
Aku menceritakan segalanya sama
Aisya. Ternyata Aisya udah nggak kaget saat tau aku suka Farkhan. Kata Aisya
itu terlihat dari keseharianku sama Farkhan.
“Kamu nya telmi sih, Ka” ucap Aisya.
“Iya, aku emang nggak peka. Aku kan
belum pernah ngerasain perasaan kayak gini, ya maklumlah” balasku. Aku
menundukkan kepala, lemas.
bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar
you can leave coment :)