Minggu, 11 November 2012

Only The First Rain (1)

Diposting oleh Orange Rose di 01.22


“Farkhaaaaaannn!!! Belalang sial!!” pekikku pada cowok yang selalu mengerjaiku tiap harinya itu. Tahu apa yang baru saja dia lakukan? Dia menaruh belalang besar yang berwarna hijau di dalam laci mejaku. Padahal dia tahu aku sangat benci serangga!
            Keadaan ini sudah berlangsung lebih dari empat bulan ini. Aku dan Farkhan tidak akan pernah bisa akur, begitu kata teman-teman. Dan aku amat sangat setuju. Akur dengan Farkhan yang selalu mengerjaiku dengan berbagai macam cara? Nggak, makasih.
        “Sya, bete banget sama Farkhan,” keluhku pada sahabatku, Aisya. Aisya menanggapi dengan senyumnya yang selalu terlihat manis dan berkharisma.
       “Kok aku ngerasa kamu sama Farkhan cocok ya?” jawab Aisya lalu tertawa. Aku kaget mendengarnya.
            “Ah bercanda! Aku? Sama Farkhan? Nggak mungkin, Sya” balasku sambil bergidik ngeri membayangkan aku dan Farkhan, cowok aneh itu pacaran? Hiii...
            “Cocok jadi temen maksudku, emang kamu bayangin apa, Ka?” lanjut Aisya yang sekarang tersenyum jahil. Aku kembali tersadar setelah ucapan Aisya selesai, iya juga, kenapa aku bayangin aku jadian sama Farkhan? Iyuuuuhhh!
            “Udah ah! Nggak penting deh bahas Farkhan.” jawabku lalu berjalan duluan meninggalkan Aisya yang masih terkekeh geli seakan tahu apa yang kubayangkan.

              Hari Minggu adalah hari yang paling membosankan.
            Entah mengapa saat hari Minggu hadir justru rasa bosan juga ikut hadir. Aku masih berguling-guling di atas kasurku, pukul 7 pagi ini. Saat dering telepon memaksaku untuk beranjak dari kasur dan berjalan menuju meja, mengambil Hpku yang berada di sana.
            Di layar Hp terpampang jelas “Belalang calling...”
            Ha? Farkhan nelfon aku? Tumben, biasanya SMS aja nggak pernah. Ada angin apa nih?
            “Ya, halo?” kataku setelah menekan tombol hijau di layar Hp.
            “Asslamu’alaikum, Panda?” jawab suara di seberang yang tak lain adalah Farkhan.
           “Wa’alaikumsalam, iya. Apa Lang? Tumben nelfon” balasku. Aku memangil dia Belalang, karena aku membenci belalang sama seperti aku membencinya. Sedangkan Farkhan memanggilku Panda karena pipiku yang chubi.
            “Mmm... aku ke rumah kamu ya, Nda?”
            “Hah? Ada apa sih? Kamu lagi demam ya Lang?”
            “Enggak. Bosen tauk di rumah, nggak ada yang bisa dikerjain.”
            “Ogah ah! Ntar kamu ke sini bawa-bawa serangga lagi. Awas aja ya!”
            “Enggak kok, Nda. Aku cuma mau cerita sama kamu.”
            Eh? Cerita? Mau cerita apa sih dia? Terdorong rasa penasaran, aku menyanggupi permintaan cowok tengil satu itu.
            Pukul 9 nanti Farkhan akan datang ke rumah. Aku segera mandi, melihat sudah pukul 8 pagi. Selesai mandi aku sempat mengetik SMS untuk Aisya, memberinya kabar tentang Farkhan.
            Aku menuruni tangga dan berjalan menuju dapur. Aku mengambil segelas susu dari meja makan dan berjalan duduk di ruang keluarga yang tak jauh dari dapur. Kulihat Mama sedang sibuk fitnes dengan alat fitnes baru yang beliau beli lewat situs online.
            “Ma,” sapaku. Mama pun melihatku dan hanya menyunggingkan senyum.
            “Ntar temen Mika mau dateng” lanjutku.
            “Siapa? Aisya?” balas mama. Aku menggeleng.
            “Jam berapa? Mama mau pergi nanti jam 10 ada pengajian.”
            “Katanya sekarang Ma. Oalah. Papa mana Ma?”
            “Masih tidur di kamar, tadi subuh baru aja sampek Jogja”
           
            Kunyalakan TV yang berada di depanku. Baru beberapa menit kunyalakan, bel dari pintu depan berbunyi. Aku berjalan menuju pintu depan, membukakakan pintu.
          Farkhan berdiri di depan pintu rumah. Dia mengenakan setelan kemeja warna merah berlengan panjang serta skinny jeans hitam.
            “Assalamu’alaikum, Nda” sapa Farkhan lalu tersenyum. Aku menyuruhnya masuk ke dalam.
            “Lalu?” tanyaku pada Farkhan yang sedari tadi sibuk bermain dengan Hp-nya. Dia melirik ke arahku lalu memasukkan kembali Hp-nya ke dalam saku celananya.
            “Kita ngobrol di luar aja yuk? Aku mau curhat nih,” ajak Farkhan.
            “Di luar mana? Di sini juga nggak papa kok,” jawabku.
            “Nggak enak, Nda. Keluar yuk? Aku traktir deh,” ajak Farkhan lagi.
            “Oke, tapi jangan angkringan atau burjoan lho.”
            “Hahaha, ya enggaklah.”
            “Yaudah aku pamit sama Mama dulu ya.”
            Aku berjalan masuk menuju kamar Mama lalu kubuka pintu kamar Mama.
            “Ma?” panggilku. Ternyata Mama sedang mandi.
            “Ya?” jawab Mama bersahutan dengan bisingnya suara keran air.
            “Aku pergi ya, Ma? Sama Farkhan” lanjutku.
            “Oke,” balas Mama.

            Farkhan mengajakku ke sebuah cafe di pinggiran kota Jogja.
            “Kamu kenal Annisa nggak, Nda?” tanya Farkhan setelah kami selesai memesan menu.
            “Annisa siapa? Di dunia ini yang namanya Annisa tu banyak,” jawabku.
            “Annisa kelas sebelah, IPA 4,” jelas Farkhan.
            “Ooh, yang islami banget itu kan?” tanyaku meyakinkan. Farkhan mengangguk.
            “Yap aku kenal. Kenapa?” lanjutku.
          Baru saja Farkhan membuka mulutnya untuk melanjutkan pembicaraan, pelayan di cafe itu telah datang mengantarkan pesanan.
           “Silahkan,” kata pelayan itu sambil menurunkan dua gelas minuman yang tadi ia bawa dengan nampan kayu.
            “Lanjut deh, Lang,” kataku. Farkhan meneguk minumannya,
            “Gimana ya.. Annisa suka sama aku, Nda,” kata Farkhan. Aku terkejut. Benar-benar terkejut. Dan entah kenapa jantungku jadi berdetak lebih cepat.
            “Ciyeee... jadi sekarang kamu pacaran?” tanyaku, berusaha tetap terseyum. Entah kenapa ada rasa ‘sakit’ yang aku nggak ngerti apa artinya ini.
            “Hehe,” jawab Farkhan sambil menggaruk-garuk rambutnya, dia malu.
            “Eh lihat deh Nda, hujan pertama bulan di Oktober,” lanjut Farkhan sambil menatap jalan yang telah basah oleh air hujan yang turun dengan derasnya. Iya, ini memang hujan pertama di bulan Oktober. Dan aku menikmatinya bersama Farkhan, entah kenapa rasanya berbeda.
            “Panda?” tanya Farkhan. Dia melihatku. Entah mengapa aku menangis.

            Hujan bulan Oktober tak pernah sesakit ini. Sebelumnya aku adalah penggemar berat hujan, hingga aku merasakan rasa sakit ini. Aku cemburu, aku patah semangat. Aku tahu sekarang, alasan mengapa hari Minggu terasa membosankan, karena hari itu aku tak dapat bertemu Farkhan. Aku tahu alasan kenapa aku tak pernah bisa marah pada Farkhan, alasan kenapa kemarin aku menangis di cafe. Semua itu karena aku suka Farkhan! Belalang yang sekarang mulai masuk ke dalam hatiku.
          Kabar Farkhan jadian dengan Annisa cepat menyebar hingga seluruh sekolah. Annisa memang cewek yang cantik dan muslimah. Aku kira dia bukan tipe yang akan berpacaran, tapi ternyata dia sama seperti cewek pada umumnya. Dan Annisa berbeda denganku. Dia selalu menutup aurat dan menaati tata tertib sekolah, pintar, berkharisma. Dia seperti Aisya. Punya kharisma yang aku nggak punya.
        Aku menceritakan segalanya sama Aisya. Ternyata Aisya udah nggak kaget saat tau aku suka Farkhan. Kata Aisya itu terlihat dari keseharianku sama Farkhan.
            “Kamu nya telmi sih, Ka” ucap Aisya.
            “Iya, aku emang nggak peka. Aku kan belum pernah ngerasain perasaan kayak gini, ya maklumlah” balasku. Aku menundukkan kepala, lemas.

bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

you can leave coment :)

 

Orange Rose :) Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review