Aku menulis kisah ini, tentang pria bernama, Impian.
Aku menyebut
nama pria pujaan itu dalam hati dan dalam tiap doa dalam sujudku. Aku selalu
berharap agar pertemuan ku dengannya bisa lebih sering. Aku berharap dia bisa
sekali saja menatapku, sekali saja dia melihatku, agar aku juga bisa sekali
saja menatap wajahnya bukan punggungnya.
Aku menyukainya
sejak 2 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku bahkan
tak tahu namanya, tak berani menyapanya pula. Tapi cukup bertemu dan melihatnya
saja aku sudah merasa ‘inilah musim semiku’.
Sosoknya berada
jauh diatasku, apa ini karena perbedaan usiaku dengannya? Lima tahun memang
cukup jauh. Cukup untuk membuat kisah yang berbeda tanpa adanya aku dalam
dongengnya. Jarak, suasana, dan sikap ku dengannya memang tak bisa disatukan. Tak
akan pernah bisa. Karena aku dan dia jelas bukanlah jodoh yang dipersatukan
Yang Maha Esa.
Tahun lalu,
aku bisa melihat sosoknya dengan jarak lebih dekat. Tanpa sekat pembatas shaaf wanita
dan shaaf pria. Tahun lalu, aku dapat menyapanya bahkan mengukir senyum
dibibirnya. Aku, aku yang selalu merasa -ini tak mungkin-
Masih kah
ingat, Impian? Malam itu, setelah
selesai sholat tarawih, kamu mengirimiku sms. Kamu memberiku ‘sinyal’ yang
bahkan tak pernah dapat aku bayangkan walau dalam mimpi sekalipun. Malam itu,
aku merasa penantian dalam diamku selama dua tahun tidak sia-sia. Malam itu
dalam diam aku menangis membaca sms darimu. Aku senang, hingga tak tahu apa
yang harus ku perbuat. Apakah ini balasan dari tiap doa yang kupanjatkan,
padaMu? Bolehkah aku berharap, kuasa Engakau ini adalah takdir?
Impian,
kamu mengirimiku sms dan berkata dalam tulisan, kamu juga menyukaiku dari dua tahun yang
lalu. Kamu memang tak mengucapkannya, tapi aku mampu membaca dari tiap sms yang
kamu kirim padaku, lalu kurangkai dan kujadikan ftv pribadi dalam otak ku.
Impian,
kini aku bisa tiap saat bertemu denganmu. Tak harus menunggu bulan suci tiba. Tak
harus menunggu saat sebelum atau sesudah sholat tarawih. Tak harus menunggu
lagi selama dua tahun.
Namun rupanya,
benang merah memang tak mengikat diantara jarimu dan jariku. Hubungan ku dan
kamu yang memang tak pernah kusebut atau kau sebut “kita”
Biarlah,
semua menjadi mimpi manis dalam sadarku, Impian. Terimakasih telah memberiku
mimpi walau sekejap. Terimakasih telah berkata jujur. Semoga kelak, mimpi manis
ini akan terganti dengan kenyataan dan tak akan pernah terputus rasa manisnya.
0 komentar:
Posting Komentar
you can leave coment :)